Iruma Jyuto, 29 tahun dan bekerja sebagai polisi. Entah sejak kapan, pria dengan surai coklat yang disisir ke samping itu mendapat pekerjaan sampingan baby sitter. Jyuto masih single meski umurnya sudah hampir kepala tiga. Jyuto mengadopsi dua anak laki-laki dari panti asuhan karena hati nuraninya. Namun keputusannya memberikan dampak yang sangat besar. Dia harus bangun pagi, mengantar kedua anak ke sekolah lalu pergi bekerja sampai malam. Sesampainya di rumah ketika pulang, Jyuto berkali-kali menghembuskan napas melihat apartemennya yang kadang sudah seperti kapal karam.
"Jyuto!!" suara cempreng itu berhasil membangunkan polisi itu yang tengah tidur. Erangan malas pun keluar dari bibir Jyuto. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum melihat anak kecil berumur 11 tahun yang duduk di atasnya. Bocah bersurai putih dan mata rubi, wajahnya cantik tapi terlihat sangar secara bersamaan, dengan dua rambut yg mencuat. Di tangannya membawa kacamata yang sepertinya milik Jyuto.
"Bangun! tidur mulu kerjaannya!" ujar bocah itu dengan nada yang bisa di katakan kasar. Jyuto kembali menghela napas. Padahal masih pagi dan hancur sudah rencananya untuk beristirahat di hari libur. Jyuto lantas mengambil kacamatanya, mengenakannya lalu melakukan ritual 'mengumpulkan nyawa setelah bangun'. Sementara bocah albino itu menatap manik hijau pria di depannya dari pinggir kasur.
"Hmm.. Samatoki, di mana Riou?" tanya Jyuto setelah merasa nyawanya terkumpul semua. Sebelum Samatoki sempat berbicara, suara berisik muncul dari arah dapur. Jyuto dan Samatoki saling menatap horor. Dengan cepat Jyuto dan Samatoki pergi ke dapur untuk mengecek keadaan disana.
"Riou!?" seru Jyuto dengan wajah was was. Begitu pula dengan Samatoki yang sudah pucat. Seorang anak laki-laki bersurai jingga lantas berbalik kala namanya disebut. Wajah datar dengan mata biru yg bulat memberikan kesan polos. Tangannya menggenggam spatula. Firasat Jyuto dan Samatoki semakin tidak baik.
"Selamat pagi, Jyuto," sapa anak satu tahun lebih tua dari Samatoki itu masih dengan wajah datarnya.
"A-ah... Pagi juga Riou..." Jyuto tersenyum canggung membalas anak itu. Riou berbalik lalu membawa piring yang sudah ia tata sedemikian rupa. Dugaan terburuk Samatoki dan Jyuto menjadi kenyataan.
"Aku sudah membuatkan sarapan untuk kalian," ujar Riou tersenyum manis. Samatoki menarik kemeja abu-abu Jyuto. Empunya menoleh ke bocah yang sudah gemetar disampingnya.
"Kamu yang makan ya?" cicit Samatoki. Jyuto menggerutkan alisnya.
"Hei, di situ ada tiga piring!" bisiknya. Samatoki balas menatap Jyuto, wajahnya yg tadi seperti ngajak berantem berubah melas.
"Mau liat Riou sedih?" Samatoki dengan cepat menggelengkan kepalanya. Manik rubi nya kembali menatap Riou. Samatoki tersenyum paksa kepada temannya itu. Keringat dingin sudah mengucur deras di pelipis Jyuto dan Samatoki.
Bagaimana mereka tidak tegang? Masakan Riou sebenarnya enak, sangat enak. Bahkan saat Riou pertama kali memasakkan makanannya kepada Jyuto dan Samatoki, keduanya mengakui kalau masakan Riou enak. Samatoki dengan lahap memakan habis masakan Riou. Sementara Jyuto juga memakan masakan bocah asal Amerika itu, sambil sesekali memikirkan perasaan aneh pada makanan itu. Di saat Jyuto menanyakan bahan makanannya pada Riou, Jyuto dan Samatoki langsung hampir memuntahkan makanannya.
Bahannya bisa dikatakan bahan-bahan survival. Isinya katak, burung, kelinci, ular dan beberapa hewan hutan lainnya. Sejak hari itu, Jyuto dan Samatoki selalu mencegah Riou pergi ke dapur.
"Te-terimakasih Riou, tapi-" ucapan Jyuto berhenti kala melihat wajah imut dan polos Riou. Hatinya langsung tidak tega. Samatoki melirik Jyuto dengan wajah tidak suka. Riou menaruh piring berisi 'makanan' di meja. Samatoki dan Jyuto hanya tersenyum kecut melihat makanan itu. Mereka bertiga oun duduk dimeja ruang makan.
"S-selamat makan..." ujar Samatoki dan Jyuto bersamaan. Riou hanya tersenyum senang lalu memakan makanannya dengan lahap.
"Tolong bantu aku keluar dari sini..." batin Samatoki melahap makanannya.
"Harusnya aku bangun lebih pagi tadi..." begitulah isi pikiran Jyuto. Sepertinya dia harus lebih waspada kepada anak-anak.
Matahari bersinar tengah langit, namun cuacanya tidak terlalu panas. Apartemen Jyuto hari ini agak sepi didominasi dengan suara tv di ruang tengah. Jyuto memakai kaus hitam berlengan panjang dan celana training. Samatoki duduk di sofa bersama Jyuto memakai kemeja yang 2 kancing atas tidak dikancingkan dan celana hitam sampai betis. Riou duduk di lantai, menemani Jyuto menonton acara TV. Bocah bersurai orange itu memakai kaus hitam lengan pendek dan celana tentara panjang.
Jyuto melirik Samatoki yang fokus dengan smartphone-nya. Entah apa yg dia lihat, 2 rambutnya yang mencuat bergerak kesana-kemari. Jyuto sadar saat ini Samatoki dalam mood yang baik, dilihat melalui rambut di pucuk Samatoki.
Jyuto mengalihkan pandangannya ke arah jam. Jam menunjukkan jarum panjang diangka 11 dan yang pendek menunjuk angka 4. Jyuto menatap 2 anak yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Pucuk di rambut Samatoki tiba-tiba menjadi sayu. Tangan Jyuto memindahkan kaki Samatoki di pahanya lalu memanggil nama kedua anak itu.
"Samatoki, Riou, gimana kalo kita ke taman?" Tawar Jyuto. Riou dan Samatoki menghentikan aktivitasnya dan langsung noleh ke Jyuto. Perlahan kurva muncul pada bibir Samatoki. 2 pucuk rambutnya kembali bergerak senang.
"Boleh tuh," Samatoki menaruh hpnya. Riou hanya mengangguk lucu. Respon kedua anak itu dibalas senyuman. "Kalau begitu segeralah bersiap," ujar Jyuto dan dituruti.
Singkat cerita, mereka sudah sampai di taman. Jyuto duduk di bangku taman sambil mengapit sebatang rokok di antara kedua belah bibir. Mengawasi Samatoki dan Riou yang sudah melesat ke taman. Jyuto pun mulai asyik menghisap batang tembakau. Perhatiannya teralih ketika seseorang memanggilnya. Jyuto menoleh ke sumber suara lalu tersenyum sopan pada pria jangkung dengan rambut ungu yang sangat panjang.
"Selamat siang, Jinguji," Jyuto membalas sapaan pria tadi. Jinguji Jakurai, seorang dokter single yang sudah berumur 35 tahun. Pria itu duduk di samping Jyuto. Memiliki tujuan yang sama dengan Jyuto, yaitu mengawasi 2 anak asuhnya yang juga bermain di taman. Tak lama, seseorang dengan pakaian tradisional jepang ikut bergabung.
"Selamat siang Jakurai, Iruma," sapanya lalu duduk di bangku dengan mereka. Dibelakangnya juga ada remaja dengan mata dwi warna hijau-merah dan bersura hitam dengan tahi lalat dibawah mata kanan. Ditangannya pemuda itu, ada seorang balita imut dengan mata dwi warna hijau-biru, Yamada Saburo yakni adik bungsu Ichiro.
"Siang juga, Yumeno, Yamada!" pria bernama Yumeno Gentaro dan Yamada Ichiro itu hanya tersenyum merespon sapaan Jyuto.
"Ichiwoo!!" seorang anak kecil berambut gulali tiba-tiba menubruk kaki jenjang Ichiro membuat Ichiro tersentak sedikit karena kaget.
"Ramuda!?" Ichiro masih sedikit terkejut dengan anak kecil yang memeluknya. Sementara Ramuda hanya menunjukkan senyuman lebar. Ramuda sebenarnya adalah salah satu dari 2 anak asuh dari Gentaro. Dia sangat nempel ke Ichiro. Bisa dilihat Saburo menatap Ramuda dengan tatapan tidak suka kala Ramuda memeluk kakak tersayangnya.
"Jyuto!" Suara itu berhasil membuat Jyuto mengernyit lagi. 4 orang dewasa itu langsung menoleh ke arah Samatoki yang berlari ke arah mereka. Pelipisnya dipenuhi cucuran keringat dan nafasnya tidak beraturan akibat berlari.
Manik rubi Samatoki menatap tajam Ichiro. Sampai akhirnya ada percikan listrik diantara tatapan mereka. Samatoki langsung memalingkan wajahnya saat ingat sesuatu.
"Riou nangkep hewan!" Seru Samatoki panik. Wajah Jyuto pun tidak kalah panik. 4 orang lainnya, termasuk Ramuda menatap Jyuto dan Samatoki bingung. "Dimana dia!?" Jyuto langsung bangkit dari bangku. Samatoki pun menunjukkan jalan ke arah dia berlari sebelumnya. Jyuto dengan cekatan pergi ke semak-semak yang ditunjuk Samatoki diikuti Samatoki yang berlari di belakang Jyuto.
Manik hijau Jyuto melebar saat 3 anak kecil disana sedang berkumpul- bersembunyi di balik semak. "Riou!" Yang terpanggil langsung menoleh dan menunjukkan senyum manisnya. Disana juga ada anak berambut biru gelap yang berantakan dan anak bersurai merah diselingi sedikit warna hijau muda.
"Hai Jyuto," sapa Riou. Jyuto memucat kala melihat apa yang dipegang Riou. Sudah ada hewan liar yang sudah tidak bernyawa di tangan anak itu.
"Dice, Doppo, kalian ngapain?" Tanya Jyuto. Dice sebenarnya anak asuh Gentaro sementara Doppo anak asuh Jakurai.
"Tentu saja makan masakannya Riou! Lagipula masakannya selalu enak!" Seru yang bersurai biru, Dice. Doppo hanya mengangguk takut. Jyuto memijat pelipisnya. Benar-benar anak ajaib, batin Jyuto. Samatoki di belakang Jyuto menatap heran ke temannya. Bisa-bisanya mereka bertiga bisa makan makanan survival, batin Samatoki.
Matahari sudah mulai turun. Jyuto pun kembali mengajak anak-anak pulang ke apartemennya. "Samatoki man-" belum selesai bicara, Jyuto kembali di kejutkan oleh Samatoki yang kini memegang pistol miliknya.
"Kembalikan!" Bentak Jyuto saking paniknya. Samatoki hanya menoleh dengan santainya.
"Tenang, aku ga akan nembak isi rumah,"
"Bukan itu! Kamu masih kecil-"
"Tapi sebelum aku disini aku sudah biasa melihat beginian, ada pula yang lebih parah," Samatoki menaruh pistol itu lagi di meja lalu berjalan melewati Jyuto yang membeku ditempat. Jyuto menatap pistolnya, memikirkan perkataan Samatoki tadi.
"Dasar..." Gumam Jyuto mengambil pistol itu dan menyimpannya di tempat yang aman. Sementara Riou hanya diam mengamati dari pintu kamarnya. Dia hanya diam, karena masa lalunya juga 11 12 dengan Samatoki.
"Ah, begitu. Baik, aku akan berangkat,"
Samatoki dan Riou yang sudah selesai mandi dan berpakaian lantas pergi ke sumber suara. Samatoki menatap bingung wajah Jyuto yang sangat serius. Mata Jyuto terus menatap layar ponselnya. "Jyuto!" Panggil Samatoki membuat Jyuto melompat kaget. Samatoki menatap heran kelakuan pengasuhnya. Padahal dia hanya memanggil.
Tiba-tiba pikiran terlintas dibenak Samatoki dan Riou. Keduanya menatap tajam Jyuto. Karena merasakan hawa tidak enak kala ditatap 2 anak asuhnya, Jyuto tersenyum paksa kepada mereka. "Yah, aku mendapat tugas mendadak dari atasan-" ucapan Jyuto disela oleh geraman Samatoki.
"Sesuatu yang berbahaya, huh?" Ujar Samatoki menatap tajam. Oh tidak, Jyuto sudah merasa seperti seekor kelinci yang di hadang 2 pemangsa. Riou sedari tadi hanya diam dan itu membuat nyali Jyuto semakin menciut.
"T-tenang saja, aku akan pulang sebelum jam 12," ujar Jyuto kemudian pergi begitu saja ke kamarnya, mengabaikan tatapan mengerikan Samatoki. Samatoki melirik temannya. Matanya membulat sempurna melihat wajah Riou yang berubah drastis. Kedua alisnya berkerut dan kepalanya tertunduk. Matanya sudah menahan tangis.
"Oi Riou..." Tangan Samatoki mengelus pelan punggung Riou guna memenangkan bocah itu. "Sudahlah, aku tau kau sangat menyayangi Jyuto..." Ujar Samatoki masih melakukan aktivitasnya.
"Aku juga..." Bisik Samatoki entah pada siapa.
Jyuto keluar kamar dengan tergesa-gesa. Jyuto sudah mengenakan seragamnya dan sarung tangan merahnya, tak lupa jam tangan yang sudah melingkar ditangannya. Riou pun langsung menghapus air matanya dengan cepat. "Aku akan segera pulang," ujar Jyuto tegas setelah memakai sepatunya. "Jaga rumah," ucap Jyuto diambang pintu sebelum pergi meninggalkan kedua anak yg diam disana.
Samatoki mendengus kesal lalu mengajak Riou untuk masuk. Samatoki segera membuatkan teh untuk temannya. Riou berterimakasih lalu meminum teh buatan Samatoki. "Aku penasaran apa tugas Jyuto..." Gumam Riou dan dapat di dengar jelas Samatoki. Anak bersurai putih itu menatap ke langit-langit atap sebelum atensi nya beralih pada ponsel Jyuto yg masih menyala. Tangannya terulur mengambil ponsel itu dan mulai membaca tiap kata yang tertera.
"Masalah pembunuhan... Dikatakan Jyuto disuruh untuk mengatasi beberapa pembunuh disana..." Ucapan Samatoki terhenti digantikan tangannya yang sudah mengepal kuat. "Kelinci itu...!" Geram Samatoki melempar asal ponsel Jyuto. Untungnya Riou dengan sigap bisa menangkapnya. Kalau tidak, dia tidak ingin mendengar suara ceramahan Jyuto nantinya.
Riou menatap datar tangan Samatoki sebelum menatap wajahnya. "Samatoki, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Riou. Samatoki menatap serius Riou. Dengan cepat Riou paham dengan tatapannya.
"... Orang tuamu dulu meninggal karena perang dan mereka tentara kan?" Tanya Samatoki dan di balas anggukan singkat. "Jadi kau bisa menggunakan senjata?" Tanya Samatoki dan masih dibalas anggukan. Mata Samatoki beralih pada ponsel Jyuto ditangan Riou.
" Ini memang seharusnya tidak kita lakukan, tapi kita jauh lebih tau cara mengatasi pembunuhan karena masa lalu," Samatoki menghentikan kalimatnya lalu menatap Riou. "Ayo pergi," lanjut Samatoki.
"Dilaksanakan!" Jawab Riou tegas sambil melakukan sikap hormat, membuat Samatoki tersenyum miring. "Yah lagipula anggap saja ini juga sebagai terimakasih sudah menjaga kita dengan baik,"
Samatoki berjalan menuju kamar Jyuto. Riou membuntuti dibelakangnya. Manik rubi Samatoki melihat sekitar kamar sebelum menatap laci di dekat kasur. Samatoki mencoba menarik laci tersebut namun tidak terbuka. "Cih dikunci," decih Samatoki kesal.
"Biarkan aku," kali ini Riou yang membukanya. Kreek. Laci itu terbuka dan Samatoki speechless. "Kok?" Tanya Samatoki. Riou tersenyum simpul. "Magic," balas Riou, padahal kuncinya sudah tergantung dilubangnya, entah karena ruangannya yang gelap atau Samatoki yang tidak sadar.
Samatoki dan Riou menarik laci itu dan menampakkan beberapa senjata polisi seperti pistol. "Bagaimana kau tau?" Tanya Riou. "Aku diam-diam melihat Jyuto menyimpan senjatanya dulu," balas Samatoki mengambil 2 alat darisana lalu memberikan 1 kepada Riou.
"Jangan membunuh ataupun terbunuh,"
Samatoki menatap Riou yang sudah bersiap dengan pakaian tentara ukuran anak-anak. Sementara Samatoki sendiri tidak mau ribet, dia hanya mengenakan kemeja 2 kancing atas tidak terkancing, celana jeans dan sepatu boots miliknya. "Kunci pintunya," ujar Samatoki dan pintu apartemen pun di kunci Riou. Samatoki kembali melihat ponsel Jyuto guna mengetahui tujuannya.
"Pelabuhan,"
"Segera kesana!" Seru beberapa polisi lalu berlari ke sekitar kargo dekat pelabuhan. Jyuto menganalisis setiap kalimat dalam laporan. Alisnya mengkerut tanda dia sedang serius. Sesuatu langsung terlintas dibenaknya. Samatoki dan Riou. Jyuto segera menggeleng cepat guna mengembalikan fokusnya.
"Tenang Jyuto, mereka ada dirumah," ucapnya pada dirinya sendiri.
"Target belum ditemukan!" Seru salah satu polisi bawahan Jyuto. Perhatian Jyuto beralih pada rekannya. "Panggil bala bantuan, sepertinya malam ini akan panjang," perintah Jyuto dan dibalas anggukan.
"Haaah..." Jyuto membenarkan posisi kacamatanya lalu mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya.
"Samatoki..." Bisik Riou. Samatoki yang kini mengawasi Jyuto dari atas barang cargo lantas menoleh. "Apa?"
"Bagaimana kau bisa punya bawahan preman...?" Tanya Riou polos membuat Samatoki terkekeh geli. "Tentu saja! Aku ini Aohitsugi Samatoki!" Ucap Samatoki membusungkan dada. Riou hanya ber oh ria mendengar jawaban temannya. Sebelumnya mereka bisa cepat datang di pelabuhan karena diantar oleh salah satu anak buah Samatoki.
Mata Samatoki dan Riou kini kembali fokus pada gerak-gerik Jyuto. Tak lama Riou menangkap siluet beberapa pria berbadan besar di belakang Jyuto. "Jyut-" sebelum Samatoki berteriak mulutnya dibekap oleh Riou.
"Ssht!"
"Pakai ini," Riou mengeluarkan benda dari sakunya. Samatoki menatap bingung benda yang dibawa Riou.
"Aku ada rencana," ujar Riou tersenyum.
Jyuto masih fokus dengan menelepon rekan-rekannya. Tidak sadar akan sekumpulan pria berbadan besar dengan senjata ditangan mereka. "Tangkap polisi itu," ujar salah satunya. Semuanya mengangguk lalu perlahan mendekati Jyuto. Jyuto masih belum sadar.
"Sekarang!"
Samatoki melompat dari atas barang kargo dan berhasil jatuh diatas pundak salah satu orang membuatnya oleng. "Akh!?" Teriakan pria itu berhasil menyadarkan Jyuto. Jyuto segera berbalik untuk melihat belakangnya. Mata Jyuto melebar kala sadar dirinya diincar. Namun bukan hanya itu yang membuatnya terkejut. “Apa?” gumam Jyuto entah pada siapa.
"Riou!" Seru Samatoki. Riou dengan sigap mengaitkan rantai ke kali salah satu penyerang dan segera menarik rantai itu membuat pria penyerang itu hilang keseimbangan dan saling menubruk temannya.
"Kerja bagus!" Ujar Sanatoki tersenyum bangga sambil menaikkan tangannya ke arah Riou. Riou balas tersenyum lalu melakukan tos bersama Samatoki. Jyuto diam mematung ditempatnya. Ia tidak percaya akan yang ia lihat. 2 anak kecil bisa mengalahkan banyak pria dewasa?
"Uh!" Jyuto langsung tersadar dan segera memanggil rekannya untuk menangkap para penjahat. "Riou! Samatoki!" Sahut Jyuto membuat 2 anak itu menoleh. Samatoki masih tersenyum bangga sementara Riou sudah kembali dengan wajah datarnya.
"Kalian...!?" Mata Jyuto masih membulat. Samatoki lalu menyilangkan tangannya didepan dada. "Hebat kan? Jangan remehkan Samatoki!" Ujar Samatoki. Riou hanya tersenyum menanggapi.
"Bukan itu, kenapa disini!? Sudah kusuruh untuk jaga rumah!" Jyuto memijat pelipisnya lalu menatap tajam Riou dan Samatoki. Pikiran Jyuto tidak beres. Bagaimana jika rencana kedua anak itu gagal? Bagaimana jika mereka terluka? Jyuto pasti tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika itu sampai terjadi.
"Jyuto," panggil Riou. Jyuto menoleh lalu menatap Riou. "Apa?" Tanya Jyuto. "Kami tidak ingin kamu kenapa-napa... Karena hanya kamu keluarga kami sekarang," kalimat Riou berhasil membuat Jyuto membeku lagi. Dia lupa bahwa masih ada yang perlu ia jaga. Jyuto menghembuskan nafasnya, berharap angin membawa beban pikirannya pergi.
Polisi berkacamata itu jongkok di depan kedua anak lalu mengelus masing-masing kepala mereka. "Terimakasih, Samatoki, Riou," ujar Jyuto lembut. Samatoki merona merah lalu membuang wajahnya. Riou hanya mengangguk.
"Bagaimana jika kita pulang?" tanya Jyuto menatap lembut Samatoki dan Riou.
"Iya!" seru Samatoki dan Riou bersamaan dengan senyuman.
Karya:
Catharina Adelita Ayuningtyas