Ada kalanya ketika aku ingin menyerah. Menyerah dengan keadaanku di dunia yang sangat kejam ini. Aku terlahir dalam diam. Aku lahir dari sebuah keheningan. Mungkin, saat itu ayahku dengan sia-sia mengumandangkan adzan yang bahkan tidak sedikitpun bisa kudengar. Aku tidak pernah tahu seperti apa indahnya alunan musik Beethoven, atau merdunya suara adzan saat fajar datang. Semua yang aku tahu hanyalah keheningan.
Pagi ini, aku bangun dengan keringat di sekujur tubuhku. Aku bermimpi buruk. Dalam mimpiku, aku melihat sesosok gadis yang tidak terlalu cantik dengan rambut sebahu sedang duduk menangis di tengah lapangan. Badannya penuh dengan lumuran tepung bercampur air yang membuaatnya lengket. Ia menangis cukup hebat, sampai dadanya terasa sangat sesak. Ya. Itu adalah aku. Itu adalah gambaran nyata yang selama ini aku dapatkan ketika aku berada di suatu tempat yang orang-orang bilang “rumah kedua”. Namun, bagiku tempat ini bukanlah rumah keduaku. Tempat ini adalah neraka. Neraka di mana terdapat orang-orang jahat layaknya iblis. Sungguh, aku tidak tahu mengapa aku menyebut mereka sebagai iblis.
Teman, satu kata yang aku tidak pernah tahu apa maknanya. Aku tidak pernah memiliki teman, kecuali Miko. Ya, Miko adalah kucing gendut yang aku temukan di jalanan dua tahun lalu, yang saat ini masih tertidur pulas di kasur barunya yang aku belikan minggu lalu. Di sekolah, tidak ada kata teman untukku. Entah mengapa seolah-olah Tuhan tidak ingin memberikanku sebuah rasa pertemanan, bahkan rasa persahabatan. Mereka, orang-orang yang satu kelas denganku, bahkan tidak berhenti berbicara jelek tentangku—meskipun aku tidak tahu apa yang mereka dengarkan, aku melihat bagaimana mereka tertawa, menunjukku, bahkan memberikan tatapan mengejek padaku.
Sudah sepuluh menit aku berbaring di kasurku. Seharusnya aku sudah selesai mandi, tapi entah kenapa aku tidak ingin berangkat sekolah hari ini. Aku hanya ingin di rumah, bersama Miko dan Ibuku, menikmati hari yang tenang tanpa ada perundungan.
Aku sedikit terkejut ketika pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Ibuku datang dengan muka keheranan. Ia bertanya dengan bahasa isyarat mengapa aku tidak menjawab ketukan pintunya. Aku mengernyit. Ketukan pintu? Ah rupanya aku lupa menggunakan alat bantu dengarku. Aku segera memberikana isyarat meminta maaf kepada ibuku. Ibu menyuruhku segera bergegas karena aku akan terlambat sekolah jika masih tiduran. Dengan pasrah, aku segera mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.
Aku tidak pernah tahu alasan mengapa ibuku sangat tegas menyekolahkanku di sekolah biasa. Aku tuli. Aku merasa sangat merasa kesulitan untuk dapat berbaur dengan orang-orang di sini. Aku juga kesusahan untuk mendengarkan guru ketika menerangkan perlajaran. Aku sangat merasa terbebani. Bahkan, aku yakin hampir semua murid di sini mengataiku orang aneh. Sudah beribu kali aku mengeluh kepada ibu tentang masalah ini, namun ibu hanya buang muka dan mengatakan bahwa ini adalah pilihan terbaik untukku. Aku menjadi bertanya-tanya, apakah menurut ibu, pilihan terbaik adalah pilihan yang dapat menyiksa batinku.
Murid-murid melihatku sambil berbisik-bisik. Aku hanya diam dan membiarkannya saja. Bahkan jika mereka ingin berteriak di depan telingaku sekalipun, aku akan diam saja. Terkadang aku bersyukur dengan kondisiku yang seperti ini, damai, tanpa bisa mendengar hinaan dari orang lain.
Hari ini ada pelajaran seni musik. Jujur, aku benci perlajaran ini. Seakan-akan mata pelajaran ini dibuat untuk menghinaku. Bagaimana bisa aku menyanyi? Bagaimana bisa aku memainkan musik? Jika aku saja tidak bisa mendengar dan berbicara. Tak heran jika aku selalu mendapat nilai yang cukup jelek. Aku merasa, guru musik pun tidak tahu bagaimana cara menghadapiku. Beliau tidak pernah menengokku. Beliau tidak pernah menanyakan apakah aku baik-baik saja, apakah aku paham dengan materi yang beliau sampaikan. Tidak pernah. Yang kutahu hanya memanggil saat presensi tiba. Sungguh, ini benar-benar melukai hatiku sebagai tuna rungu.
Aku memasuki aula yang cukup luas. Di depanku, sudah tersedia sebuah piano kecil. Aku sudah tahu kemana arahnya. Ujian memainkan alat musik. Sudah beberapa kali aku melakukan ini, seharusnya aku sudah terbiasa. Namun, mengapa aku tidak bisa menahan rasa ingin menangis dan dada yang sesak. Tidakkah mereka mengerti bahwa ini sangat menghinaku? Aku sudah berulang kali mencoba bermain piano, meskipun hanya menggunakan applikasi di handphone saja. Ya, kurasa itu sudah cukup, sudah cukup membuatku sedikit frustasi. Meskipun aku bisa mendengarnya dengan alat bantu dengar yang kupunya, tapi tetap saja aku menolak untuk bisa melakukannya. Menolak untuk bisa bermain piano. Menolak untuk bisa merangkai nada-nada dari setiap tuts yang kutekan.
Aku tahu ini salah, ketika aku tidak pernah ingin berusaha untuk mencapai sesuatu hal yang tidak mungkin. Aku berpikir, semua akan sia-sia. Aku tahu ini salah, ketika aku hanya ingin hidup dalam zona nyamanku. Aku tahu ini salah, ketika aku hanya mengeluh dan tidak pernah bersemangat untuk menjalani hidup. Ini salahku. Aku membiarkan orang-orang berdiri menginjakku. Aku membiarkan orang-orang memandang rendah diriku. Aku membiarkan diriku sendiri untuk tenggelam dalam kesengsaraan. Aku membiarkan diriku menyerah pada keadaan.
Aku lalu berdiri, memberanikan diri untuk maju mendekat ke arah piano kecil itu dan membiarkan diri ini bertarung melawan ketakutan dan kebencian yang kumiliki selama ini, yaitu musik.
-Selesai-
Karya:
Novika Dyah Nur Latifa