Sudah menjadi kegiatan rutin setiap tiga bulan sekali, orangtuaku dan rombongannya melakukan anjangsana ke sebuah panti. Entah panti jompo atau panti asuhan. Siang ini, untuk pertama kalinya aku akan ikut orangtuaku dalam kegiatan anjangsana tersebut. Kali ini panti yang akan dikunjungi adalah sebuah panti asuhan yang berada di Ganjuran, Bantul, Yogyakarta.
Sesampainya di panti asuhan yang dituju, rombongan kami disambut oleh pengurus panti asuhan tersebut. Setelah berbincang-bincang, pengurus panti asuhan mengajak kami ke aula untuk bertemu dengan anak-anak penghuni panti asuhan dan melaksanakan kegiatan yang sudah dipersiapkan oleh rombongan kami.
Sambil menunggu persiapan acara tersebut, aku dan beberapa temanku berjalan-jalan mengelilingi kompleks panti asuhan tersebut. Sungguh kagum aku dengan keadaan lingkungan panti asuhan tersebut. Lingkungannya benar-benar nyaman. Kebersihan dan kerapiannya sangat diperhatikan. Dari setiap ruangan hingga taman dan kebun benar-benar bersih, rapi, sejuk, dan asri.
Dengan rasa masih terkagum-kagum akan penataan lingkungan tersebut, mataku tertuju pada sosok anak kecil sekitar 6 tahunan. Dia sedang membersihkan kolam ikan yang ada di belakang. Dia menoleh dan menyapa kami dengan ramah.
“Hai, Kak! Selamat Siang… Selamat datang, Kakak!” sapanya dengan ramah tanpa menghentikan pekerjaannya.
“Hai, Dik! Selamat siang juga,” jawab kami serempak.
“Kok masih di sini, Dik? Kamu nggak bergabung dengan teman-temanmu di aula untuk mengikuti kegiatan hari ini?” tanyaku.
“Sebentar lagi, Kak. Aku selesaikan tugasku dulu. Ini sudah hampir selesai,” jawabnya sambil tertawa kecil.
Selang beberapa menit kemudian, tampak pekerjaan anak kecil itu sudah selesai. Dia membersihkan kedua tangan dan kakinya, kemudian menghampiri kami yang sedang duduk di taman belakang dekat kolam ikan.
“Kenalkan, Kak. Aku Niko,” katanya sambil duduk di bangku depan kami.
“Hai, Niko,” jawab kami hampir serentak.
“Kenapa nggak langsung masuk ke aula, Niko?” tanya temanku.
“Bentar lagi, Kak, aku masih agak gerah,” katanya.
Aku memperhatikan wajah Niko dengan saksama. Terlihat wajah yang sangat polos dan bersahabat. Terbersit dalam benakku. Anak sekecil ini mengapa harus tinggal di panti asuhan. Seharusnya dia masih merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan orang tuanya. Mengapa dia bisa sampai di tempat ini. Apakah dia mengenal orang tuanya? Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku. Aku tidak tega menanyakan semua pertanyaan yang muncul di benakku.
“Niko, umur kamu berapa?” tanyaku. Hanya pertanyaan itu yang mampu aku tanyakan kepadanya.
“Kata ibu panti di sini, umurku enam hampir tujuh tahun, Kak,” jawabnya dengan senyum yang selalu mengembang.
“O, sudah besar ya,” kataku sambil menepuk bahunya. “Udah punya cita-cita dong?” lanjutku. “Cita-citamu besok gedhe mau jadi apa, hayo?“ sambil kuusap rambutnya.
“Aku pingin jadi orang pinter, biar bisa cepat dapet kerja!” jawabnya lantang.
Aku heran dengan jawaban anak sekecil itu yang sudah mikir kerja.
“Iya, kalau udah pinter terus mau kerja jadi apa?” tanya temanku memperjelas.
“Kerja apa saja, pokoknya aku harus dapet duit banyak, biar bisa jemput ayahku di Surabaya,” katanya dengan semangat.
Belum selesai pertanyaan-pertanyaanku yang ada di benakku dijawab oleh Niko, tiba-tiba ibu panti asuhan itu mendekati kami.
“Niko, segera bergabung di aula. Teman-temanmu sudah menunggu dan acara segera akan dimulai,” kata ibu panti dengan lembut.
“Baik, Ibu,” kata Niko. “Kak, aku ke aula dulu yaaa,” lanjut Niko sambil berlari kecil menuju aula.
“Dia anak yang paling ceria dan paling rajin di panti ini,” kata ibu panti. “Dia ditemukan 3 tahun yang lalu oleh salah satu teman saya yang bertugas di Surabaya. Saat ditemukan, dia ada di samping ayahnya yang tergeletak dan terbujur kaku di emperan sebuah toko. Dia sedang menangis kebingungan karena orang-orang mengerumuni dia dan ayahnya. Menurut orang-orang yang ada di sekitar sana, Niko dan ayahnya termasuk gelandangan di daerah itu. Akhirnya Niko dibawa teman saya ke Kota Yogyakarta dan diserahkan di panti asuhan ini,” kenang ibu panti.
“Setiap kali Niko menanyakan ayahnya, kami selalu mengatakan ayahnya sedang bekerja mengumpulkan uang di Surabaya untuk menjemputnya. Kami juga mengatakan bahwa ayahnya berpesan agar Niko jadi anak yang baik dan pintar agar bisa lebih dulu menjemput ayahnya,” lanjut ibu panti.
Pantas ketika kutanya apa cita-citanya, Niko menjawab pingin jadi orang pinter agar bisa cepat kerja untuk mencari uang. Rasa haru kian bertambah mendengar cerita dari ibu panti tentang keseharian si kecil Niko yang rajin, ramah, dan periang ini. Dia belum mengetahui kisah sebenarnya karena dianggap masih terlalu kecil untuk mengerti cerita sesungguhnya. Setelah bercerita tentang kisah Niko, kemudian ibu panti mengajak kami bergabung di aula untuk mengikuti acara di sana.
Acara di panti asuhan siang ini cukup meriah dan menyenangkan. Kami melihat anak-anak di sana begitu terhibur dan bersemangat mengikuti acara demi acara yang telah kami susun. Tiba-tiba terdengar tepukan tangan yang sangat meriah diberikan kepada Niko ketika dia selesai menyanyikan sebuah lagu yang syair dan alunan suaranya sangat menyentuh hati. Benar-benar mengharukan. Ternyata si kecil Niko selain rajin, ramah, dan periang, dia juga bersuara emas.
Menjelang sore aku dan rombonganku berpamitan. Semua anak di panti melepas kepergian kami dengan doa dan rasa yang penuh haru. Hari ini menjadi hari yang benar-benar sangat spesial bagiku. Hari ini aku belajar banyak hal dari anak-anak panti asuhan. Belajar bagaimana berbagi, belajar menjaga kebersamaan, dan belajar saling menghibur dan menguatkan. Dari sosok si kecil Niko, aku mendapat pelajaran tentang sikap rendah hati dan semangat yang kuat untuk meraih impian. Dan satu pelajaran yang sangat berharga adalah selalu mengucap syukur dalam segala hal. Aku sadar, aku benar-benar beruntung masih mempunyai orang tua yang penuh kasih sayang. Orang tua yang selalu ada buat aku di setiap waktu. Yaaa, memang… Selalu ada alasan untuk tetap bersyukur.
******
Karya: Galang Sinarindra