19.05.16 - "Kumaha damang?". Sebuah sapaan ramah dari orang sunda saat kami menginjak di kota yang terkenal dengan sebutan Paris Van Java ini. Sebuah sapaan yang langka kami dengar di Yogyakarta.
Kota Bandung dengan udaranya yang dingin, jalan tol, taman di tengah jalan raya, dan neng gelis (gadis Sunda yang terkenal berkulit putih dan cantik) begitu mempesona kami, rombongan SMP Negeri 7 Yogyakarta yang sedang berkunjung ke sana. Selain itu, deretan toko berupa factory outlet berjajar di sepanjang jalan menawarkan pakaian dengan harga yang relatif murah membuat kami tidak tahan untuk segera melihat-lihat.
Tujuan utama kunjungan ke Bandung memang bukan untuk berwisata, tetapi melakukan kunjungan ke SMP Negeri 13 Bandung yang berlokasi di Jl. Mutiara No. 15 Lengkong, Jawa Barat. Selain bertujuan untuk menjalin silaturahmi, SMP Negeri 7 Yogyakarta ingin melakukan studi komparasi dengan mempelajari cara-cara yang telah dilakukan SMP Negeri 13 Bandung hingga menjadi nominator sekolah sehat tingkat nasional. Tentu ada banyak hal yang dapat dikaji untuk diterapkan di SMP Negeri 7 Yogyakarta.
Namun demikian, tak lengkap rasanya jika ke Bandung tapi tidak menikmati pesona Bandung yang terkenal luar biasa. Bus pun meluncur menuju Kawah Putih, itulah tujuan pertama kami menikmati keindahan alam Bandung. Meskipun hujan turun mengiringi perjalanan, kami tetap semangat naik mobil ontang anting dari lapangan parkir bus menuju Kawah Putih. Memang benar, perjuangan kami terbayar lunas saat melihat hamparan kapur luas mengitari sebuah mata air belerang tosca cantik di tengahnya. Tanpa pikir panjang kami langsung mengeluarkan kamera untuk mengabadikan keindahan alam ini.
Perjalanan berikutnya ke Danau Situpatenggang. Konon nama Situpatenggang berasal dari sebuah kisah sepasang kekasih yang bernama Ki Santang dan Dewi Rengganis. Keduanya memiliki ikatan kasih yang sangat kuat namun terpisah oleh jarak dan waktu. Karena perasaan dan kasih sayangnya, mereka berupaya untuk saling mencari, hingga suatu hari dipertemukan di sebuah batu besar yang dinamakan batu Cinta. Dalam pertemuan itu, Rengganis meminta Ki Santang untuk dibuatkan sebuah danau yang di tengahnya terdapat pulau kecil. Akhirnya, Ki Santang mengabulkan permintaan Dewi Rengganis. Sekarang daratan kecil di tengah danau ini dikenal dengan nama Pulau Sasuka yang dalam bahasa Indonesia berarti Pulau Asmara.
Hari kedua, kami mengunjungi sebuah area peternakan dan perkebunan ala film fantasi Hobit. Areal itu bernama farm house. Sebelum masuk, kami diberi voucher gratis yang dapat ditukar dengan sosis bakar atau susu sapi segar. Begitu masuk, kami disuguhi oleh lingkungan ala hobit. Di sana terdapat bermacam bentuk rumah kayu unik, toko-toko dengan desain vintage, peternakan domba, sapi, dan lain-lain.
Puas berfoto di farm house, kami melanjutkan perjalanan ke kota. Tempat yang kami tuju adalah Saung Angklung Udjo. Di sana kami dibuat terpesona oleh penampilan mulai dari anak didik junior hingga senior. Dengan iringan amusik angklung, anak didik junior menampilkan tari-tarian dari Sumatera hingga Papua. Anak didik senior menyuguhkan permainan angklung 10 oktaf dengan lagu di antaranya berjudul ‘Champion’ dan ‘Bohemian Rhapsodia’ dari Queen. Selain itu, seorang dalang memeragakan beberapa adegan dalam pertunjukan wayang golek diiringi musik angklung dan gamelan. Sesi berikutnya yang sangat ditunggu-tunggu pun tiba, seluruh penonton diajarkan memainkan anglung mulai dari percobaan do, re, mi hingga memainkan lagu di antaranya ‘And are Love Her’ dari The Beattles dan Manuk Cucakrowo. Di akhir pertunjukan, ratusan anak didik junior turun ke panggung mengajak penonton untuk menari dan menyanyi bersama. Kami pun sangat antusias untuk turun ke panggung. Tembang dolanan anak, seperti ‘Injit- Injit Semut’, ‘Ular Naga’, dll mengiri kami berjoget bersama. (fps)