Suasana pagi yang indah dengan semilir angin sepoi-sepoi yang menyejukkan hati. Dari ufuk timur, surya kembali terbit dengan senyuman yang melekat di mulutnya. Hari ini adalah hari dimana aku akan pergi meninggalkan tempat tinggalku dan pergi ke desa terpencil. Namaku? Luna, Revaluna Putri. Aku adalah lulusan dari universitas terkemuka di Jogja. Aku memiliki tujuan membantu anak-anak di desa terpencil untuk menganyam pendidikan meskipun tempatnya terbatas.
Saat aku tiba di desa tersebut, ada bangunan tua yang sudah rapuh. Masyarakat sekitar menyebut itu sekolah, walau tampak lusuh dan tak layak digunakan tetapi anak-anak desa tersebut menuntut ilmu di bangunan tua tersebut. Mereka tetap semangat untuk mencapai cita-cita. Saat mendengar hal tersebut, aku bertekad untuk membantu anak-anak di desa ini. Malam sudah tiba, kini aku sedang beristirahat. Aku terus memikirkan akan angan-angan mereka. Saat sudah larut malam aku mulai terlalu dalam pikiran dan mulai tertidur.
Pagi sudah tiba, matahari sudah menampakkan sinarnya. Aku mulai berjalan menuju tempat itu, yap benar, “sekolah". Saat sampai aku disambut dengan tahapan penasaran murid-murid di sana.
“Ibu siapa?” tanya salah satu anak yang terus menatap ke arahku.
“Anak-anak perkenalkan ini Ibu Luna,” jawab kepala desa tersebut.
“Salam kenal, saya Ibu Luna. Saya berasal dari Jogja,” tambahku.
“Mulai hari ini Ibu Luna akan mengajar kalian,” sahut kepala desa.
“Baik, Bu!” balas mereka.
“Baiklah anak-anak, pelajaran kali ini sudah selesai, kita bertemu lagi besok ya,” aku mencoba berbincang dengan mereka.
“Siap, Buu,” tak ku sangka mereka menjawab dengan penuh semangat. Akhirnya mereka semua beranjak pergi dan meninggalkan tempat ini, disusul denganku yang juga beranjak pergi.
“Terima kasih lho Bu Luna sudah mau mengajar disini,” ucap Ibu Sari. Ya, benar, Bu Sari adalah kepala desa di sini.
“Sama-sama, Bu,” jawabku sambil tersenyum.
“Apa yang Ibu ajarkan tadi?” tanya Bu Sari penasaran.
“Oh, saya ajarkan kepada mereka matematika, Bu. Tapi sepertinya mereka masih belum bisa memahaminya,” sambungku. Bu Sari menganggukkan kepalanya, tanda bahwa dia mengerti.
“Baiklah Bu, saya pulang dulu,” timpalku.
“Baiklah, hati-hati ya,” pesan Bu Sari mengakhiri obrolan kami.
***
“Selamat pagi anak-anak!” dengan wajah yang ramah, aku menyapa mereka.
“Pagi, Bu!” jawab mereka semua dengan lantang dan penuh semangat.
“Kita bertemu lagi pada pagi hari ini, apa kalian semua paham dengan materi matematika yang ibu ajarkan semalam?” aku mencoba bertanya.
Semua hanya diam dan memandang satu sama lain. Keterbatasan teknologi dan ilmu pengetahuan yang membuat mereka tertinggal jauh dengan anak-anak yang berada di kota. Namun apa daya, seorang guru harus berupaya untuk membuat anak didiknya penuh dengan ilmu.
“Eum, baiklah, ibu tahu, akan ibu ajarkan kembali materi semalam.”
“B-bu?” tiba-tiba seorang murid bertanya.
“Iya Rahma, ada apa?” aku mencoba menjawab.
“Apa benar, ibu akan meninggalkan kami dan kembali ke Jogja?” tak ku sangka, Rahma salah satu murid terhindar di kelas.
“Ah, tidak, Rahma. Ibu akan tetap mengajar kalian di sini sampai kalian sukses nanti. Ibu yakin kalian semua bisa setara dengan anak-anak kota,” jawabku. Di tengah suasana tersebut, tiba-tiba saja ponselku berdering.
“Tunggu sebentar ya anak-anak, Ibu mau menjawab telepon dulu,” Aku pergi keluar dan mengangkatnya, ternyata itu sahabatku, Azka.
“Halo, Azka?" sapaku.
“Halo Luna, kamu di mana?”
“Ah, aku sedang mengajar di sekolah sekarang.”
“Baiklah, aku akan ke sana, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu.”
“Iya, datanglah kemari, aku tunggu!” kataku sembari mengakhiri panggilan.
Aku lalu kembali ke kelas dan kembali mengajar. Sekarang sudah siang dan anak-anak sudah pulang.
“Halo,” sapa seseorang yang suaranya aku kenal.
“Halo, ah, kau sudah sampai. Apa yang ingin kau sampaikan?” tanyaku.
“Ini, aku ingin mengantarkan undangan ini,” jawab Azka. Aku pun mengambil dan membaca undangan tersebut. Olimpiade matematika? Iya, itu adalah selebaran olimpiade matematika.
“Aku yakin muridmu bisa mengikutinya,” jawab Azka percaya diri.
“Azka, terima kasih ya, semoga saja kami dapat memenangkan olimpiade tersebut,” aku sangat senang dan lebih bersemangat.
“Aamiin,” Azka meng-aminkan doaku.
Hari ini adalah hari saat aku dan muridku akan menuju ke tempat berlangsungnya olimpiade tersebut.
“Bu, aku tak yakin akan memenangkan olimpiade ini,” ucap Rahma tak percaya diri.
“Tidak apa-apa Rahma, yang penting kita sudah berusaha dan melakukan yang terbaik,” ucapkan memberi semangat kepada Rahma.
Olimpiade sudah selesai, aku dan Rahma kembali ke desa.
“Kapan pemenangnya akan diumumkan, Bu?” Tanya Rahma penasaran.
“Pemenangnya akan diumumkan seminggu lagi, kita tunggu saja,” aku mencoba tersenyum manis.
Tak disangka hari ini sudah tiba, pemenang olimpiade diumumkan dan tak disangka Rahma berhasil lolos dan akan mengikuti olimpiade selanjutnya. Rahma pergi untuk melanjutkan mimpinya, yaitu untuk menjadi seorang yang sukses. Kira-kira sudah hampir setahun Rahma pergi meninggalkan kami, dan aku masih tetap mengajar di sekolah ini. Tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kelas, saat aku menoleh ternyata itu Rahma! Dia sudah kembali dan membawa beberapa medali dan penghargaan. Aku senang melihatnya, aku langsung memeluk Rahma dan menangis bahagia, teman-temannya juga bahagia melihat Rahma.
“Terima kasih bu, Ibu sudah mengajarkan aku banyak ilmu,” ucap Rahma
“Sssama-sama R-rahma...” ucapku tersedu-sedu. Karena Rahma, desa ini sekarang sudah mulai membaik dan banyak donatur yang mengirim bantuan kepada kami. Anak-anak pun bisa mendapat pendidikan yang layak.
“Walaupun dalam keterbatasan teknologi dan ilmu pengetahuan, jika kita berusaha sebaik mungkin, ingatlah...usaha tersebut tidak akan menghianati hasil”
-SELESAI-
Karya:
Luna Syakas Wijaya