
Kelas masih sepi hanya hujan yang menemaniku. Sembari menunggu teman lain dating, aku rebahkan kepalaku di atas meja dengan earphone di telingaku.
Ryan~…
Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Aku kembali meletakan kepalaku dan terlelap tidur.
● ● ●
Seorang anak perempuan berambut coklat kemerahan dengan bunga teratai di rambutnya menarikku sambil tertawa riang. Ia menarikku ke sebuah hutan.
"Kita mau kemana?" tanyaku. Tiba-tiba terdengar dentuman keras.
● ● ●
BRAK!!!
Aku kaget setengah mati. Denis sengaja menjatuhkan novel bahasa Inggrisnya di meja. Aku melepas earphone-ku.
"Pagi-pagi jangan tidur terus. Semangat, Ar!" tegas Denis, teman dekatku yang sedikit menyebalkan tapi seru. Dia tidak pernah memanggil namaku dengan benar. Karena dia pandai bahasa Inggris, dia sering memanggilku 'R' (Ar)
"Ngaca ! Kamu juga sering tidur waktu sebelum pelajaran dimulai" ketusku. Ia hanya nyengir tidak bersalah dan duduk di sebelahku.
"Jadi, petualangan apa yang ada di pulau kapuk?" tanya Denis.
"Ada anak perempuan yang menarik tanganku" jawabku datar.
"Terus?" Ia nyengir lebar.
"Terus...aku lupa" Denis menepuk bahuku. Ekspresi wajahnya berubah. Ah, here we go again "Kamu punya DOI , ya?"
"GAK!" ketusku. "Sudah, gak usah bahas ini lagi!"
Denis hanya terkekeh pelan. Ia membenarkan kacamatanya dan melebarkan senyuman, "You can't run for me , Ar"
Kaca matanya menjadi putih ketika mengenai sinar matahari. Kalau seperti ini, ia pasti sudah tahu apa yang terjadi. Ini sering terjadi di sekolah, aku bertaruh dia tidak tahu apa yang terjadi di mimpiku, dan aku menganggap ini salah satu kekuatan supernya.
"Ah, sudahlah. Daripada kamu kepo , belajar sana. Nanti ulangan Biologi" ucapku, mengalihkan topik.
"Eh, hari ini ulangan?!"
● ● ●
Namaku Ryan. Umurku 15 tahun, kelas sepuluh. Aku tidak seperti orang asia tenggara pada umumnya. Rambutku berwarna coklat kemerahan, warna mataku biru laut, dan kulitku putih. Berbeda jauh dengan mama. Papa orang Eropa, bukan. Ia memiliki ras Kaukasia.
Entah seperti apa, aku tidak peduli. Sepuluh tahun yang lalu, kami adalah keluarga yang sederhana dan bahagia. Ia hanya pengkhianat. Ia sengaja menghabiskan harta mama dan meninggalkannya. Tapi mama selalu mencela dan bilang kalau papa adalah pahlawannya. Kalimat mama dan perbuatan papa tidak nyambung sama sekali.
Papa sempat meninggalkan sebuah liontin padaku dan berkata, "Jangan sampai kehormatanmu hilang, sang Penjaga ". Aku tidak mengerti apa maksud papa. Sampai sekarang aku menyimpannya dan tidak memakainya. Aku benci dia.
Satu-satunya teman yang mengetahui ini hanya Denis, karena cuma dia yang bisa dipercaya. Aku cukup populer di sekolah. Dan jujur, hidup populer di sekolah tidak enak.
● ● ●
Tadi, aku mengerjakan ulangan Biologi dengan mudah. Denis hanya belajar 5 menit dan bel berbunyi. Ia sempat beberapa kali bertanya padaku dan tertangkap guru menyontek. Benar-benar sial sekali. Entah bagaimana nasib nilainya nanti.
Itu lima menit yang lalu. Sekarang kami di kantin dan Denis masih menanyakan tentang mimpiku. Ia benar-benar tidak peduli tentang nilai Biologinya. Dan pada akhirnya ia menyerah.
"Omong-omong, Ar. Kamu punya adik atau kakak, gak?" tanya Denis. Sambil makan mie gorengnya.
"Aku punya kakak sepupu" jawabku.
"Maksudku kakak atau adik kandung"
"Entahlah" hening sejenak.
Ryan~ ...
Suara itu datang lagi. Suara itu sama seperti tawa anak perempuan di dalam mimpiku. Aku menoleh kanan-kiri. Semua orang sedang sibuk membeli makanan di kantin.
"Kamu manggil aku, Den?" tanyaku. Ia menggeleng. Ya, iyalah. Gak mungkin Denis memanggil menggunakan suara perempuan .
"Emangnya kenapa?" ia mengelap mulutnya yang belepotan. Aku tidak menjawab. Ia membenarkan kacamatanya lagi. "Suara yang kamu dengar itu sama seperti suara anak perempuan yang ada di mimpimu. Dan sebenarnya tidak ada orang yang manggil kamu. Apa aku benar?"
Aku tertegun. Dan dia menggunakan kekuatannya lagi. Dia benar.
"Aku benarkan?! Ayo, kita cari tau siapa DOI-mu! Pasti teman masa kecilmu" Denis beranja dari meja kantin dan menyeretku ke kelas. Ia langsung menyiapkan buku catatan kecil dan pulpen. Ia mewawancarai dengan banyak pertanyaan. Tapi dia tidak dapatkan informasi apapun. Mungkin hari ini ia tidak beruntung.
● ● ●
Jam pelajaran sekolah sudah selesai sejak 14.30. Aku membuka pintu rumah. Bau masakan ibu tercium. Perutku langsung berbunyi.
"Ryan sudah pulang" mama menghampiriku dengan piring berisi nasi goreng dan meletakkannya di meja makan. Ia melipat tangannya. "Sebelumnya bersihkan kamarmu dan mandi"
"Nanti Ryan bersihkan" aku menarik kursi dengan cepat mama mendorongnya.
"Sekarang" tegas mama. Aku mundur dan beranjak ke kamar.
● ● ●
Setelah beberapa menit akhirnya aku dapat memakan nasi goreng buatan mama. Tidak lupa ditemani dengan kerupuk. Menurutku tidak ada yang bisa menandingi nasi goreng mama.
"Pelan-pelan makannya, Ryan" ucap mama sambil memberiku segelas air putih. Susana makan malam sunyi.
Aku jadi teringat tentang pertanyaan Denis tadi siang. "Ma, memangnya Ryan punya kakak atau adik?"
"Punya"
"Siapa?"
"Dulu, Ryan punya adik kembar, tapi dia tinggal bersama papa. Mama juga lupa namanya, sudah lama sekali gak ketemu. Dia sangat manis dan cantik"
"Kenapa dia tinggal sama Papa?"
"Nanti kamu juga tau" mama tersenyum penuh misteri.
"Ma, aku sudah 15 tahun. Kenapa mama merahasiakan banyak hal?"
Mama hanya tersenyum dan beranjak ke kamar. Dan kembali dengan sebuah kotak. "Maaf mama tidak bisa memberitahu banyak. Mungkin, kotak ini bisa menjelaskan"
● ● ●
Setelah makan malam dan mengerjakan PR, aku langsung membuka kotak yang diberi mama. Di dalam surat itu, ada tiga foto keluarga dan beberapa sepucuk surat.
Aku mengambil foto keluargaku. Mama mengenakan pakaian adat sumatera utara berwarna biru muda dan aku mengenakantuxedo biru dongker dengan pin bergambar ombak, gambar wajah papa dan Renny hangus. Dan ada sebuah surat dengan tulisan berantakan.
Untuk Mama & Ryan
Hai, Mama. Renny kangen banget mama sama kak Ryan. Kalau Ryan gak ingat sama Renny, tolong rahasiakan surat Renny, ya.
Sekarang Renny tinggal di Amsterdam. Banyak tempat yang keren. Terutama Taman Bunga Keukenhof. Bunganya cantik-cantik, Renny sempat memetik bunganya diam-diam. Tapi jangan kasih tau siapa-siapa, ya.
Di sini Renny banyak temannya. Mereka keren-keren. Evelien, dia teman dekat Renny. Dia sangat jenius, kalau menggambar bagus banget, dia juga bisa berbicara 3 bahasa. Bahasa Jepang, Inggris, sama Bahasa Indonesia.
Dulu dari TK sampai kelas 3 SD, kami dekat banget. Tapi waktu kelas 4, dia pindah ke Indonesia. Kalau mama mau main ke rumah Evelien di Indonesia, alamat rumahnya ada di belakang surat.
Salam kangen dari Renny Amsterdam, Oktober 2017
● ● ●
Hari ini hari Sabtu, aku gak bisa bertemu Denis. Aku beruntung gak dapat mengikuti kasus 'Gadis dalam mimpi'. Sengaja dibuat karena aku yang paling alim dan paling misterius di kelas. Dia hanya memperbesar masalah kecil. Dan jujur aku gak punya DOI dari masa kecil ataupun sekarang. Denis meneleponku.
"Setelah aku cari dan tanya-tanya teman lamamu. Aku tau siapa DOI-mu " ucap Denis riang.
"Aku sudah bilang, aku gak punya"
"Hei, jangan mengelak, Ar. Kamu naksir sama ketua kelas, si Quinna, kan? Dan si Quinna juga naksir kamu balik " ia tertawa pelan.
"Besok baku hantam, yuk"
"Hahaha, ayo! "
"Aku serius. Di lapangan sekolah" hening sejenak.
"Jangan marah gitulah. Aku minta maaf. Hehe " aku merasa senang sekali. Akhirnya dia salah menebak. Aku merasa menang.
"Aku mungkin tau siapa perempuan di mimpi itu. Mau ikut aku gak?"
"Kemana ?"
● ● ●
Aku menjelaskan apa yang terjadi saat makan malam kemarin kepada Denis, dan bilang padanya mungkin Ranny adalah perempuan yang ada di dalam mimpi. Sekarang kami tiba di depan rumah Evelien. Aku sudah menduga dia cukup tajir. Rumahnya besar, luas, juga mewah. Dan mereka memiliki satpam pribadi.
"Bisa saya bantu?" tanya pak satpam.
"Eh, kami mau ketemu Evelien" jawabku ramah.
"Kamu temennya Evelien?" aku mengangguk. Pak satpam menyuruh kami mengikutinya.
"Kita 'kan gak tau siapa Evelien?" bisik Denis.
"Sudahlah, diam!" halaman depan rumah di taman dengan banyak permainan. Kami tiba di halaman belakang yang jauh lebih luas. Evelien sedang bermain ayunan sambil termenung. Lalu satpam berbicara kepada Evelien dan pergi.
Evelien menatapku sejenak dengan mata biru langitnya. Dan menghampiriku. "Kita gak pernah ketemu, 'kan?"
"Eh...iya. Tapi aku mau tanya sesuatu tentang Renny Wavensy" tatapannya berubah.
"Apa hubungannya denganmu?"
"Ya...aku kembarannya. Aku hanya ingin tau tentang dia"
"Siapa namamu?"
"Ryan Wavensy"
Ia berpikir sejenak, "Ikut aku"
● ● ●
Kami berada di basement pribadi Evelien. Ini bukan basement tapi lebih ke laboratorium robotik. Denis hanya bisa terdiam terpesona melihat hasil karyanya. "Oh, ya. Aku lupa berkenalan. Namaku Evelien Versteeg" aku menjabat tangannya. Pandangannya mengarah ke Denis.
"Panggil saja Denis" ucapnya. Evelien mengeluarkan sebuah pigura kecil dari lemari. Itu fotonya dengan Renny. Renny dan Evelien sedang memakan brownies. Rambut mereka diikat ke atas seperti anak bayi.
"Renny Wavensy, dia adalah sahabatku. Dia sangat manis dan cantik. Dia sangat ramah dan terlalu baik. Sayang sekali, aku pindah. Aku tidak bisa menemuinya lagi"
"Bagaimana kabarnya?" tanyaku.
"Eh...dia baik-baik saja" jawabnya gugup.
"Kamu mencoba membohongi kami?" Denis membenarkan kacamatanya. Kali ini dia tidak tersenyum. "Dari ekspresimu, sepertinya Renny dalam kondisi yang tidak baik. Jangan coba-coba berbohong"
"Bicara apa kamu ini. Ini bukan urusanmu, lagi pula kamu bukan keluarganya. Dasar!" tegas Evelien.
"Aku ini temannya. Aku di sini untuk membantu Ryan"
"Sudahlah. Tolong beritahu, ada apa dengan Renny. Kami janji tidak akan memberitahu siapa-siapa?" aku memotong.
"Aku sudah bilang dia baik-baik saja!"
Denis melepas kacamatanya. Dan aku tidak tahu bahwa mata coklat kehitaman Denis hanya lensa kontak. Mata ungu violetnya mengancam Evelien. "Kamu mau berbohong lagi?"
Evelien tertegun dan menelan ludah. Evelien merapikan rambutnya dengan tangan. Dan menunjuk ke pojok ruangan. "Maafkan aku. Silahkan duduk, dulu"
Aku menatap Denis seraya tak percaya. Aku gak mengira anak alim seperti dia menyimpan banyak hal.
"Dunia memiliki banyak rahasia. Nanti kamu juga tau" ia tersenyum.
Evelien datang kembali dengan camilan juga minuman. "Sekali lagi maafkan aku, Denis"
"Ya, tidak apa-apa. Langsung ke intinya saja"
"Berjanji-lah, Ryan untuk selalu berpikir positif walau kamu dalam di tepi jurang" aku mengangguk. "Beberapa bulan yang lalu, aku mendapat kabar Renny terkena kecelakaan. Ia mencoba membagi kekuatannya untukmu, Ryan"
"Kekuatan?" aku menaikan alis.
"Tentu saja kamu lupa, itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Jadi akan aku ingatkan, lagi"Evelien menyeruput tehnya. "Sebenarnya keluargamu itu bukan berasal dari Dunia ini. Mereka berasal dari dunia lain, bisa disebut dunia paralel. Di mana dunia itu memiliki keunikannya sendiri.
Evelien mengeluarkan sebuah lingkaran perak pipih kecil yang menampilkan peta hologram.
Mungkin kamu mengira, Ayahmu adalah orang eropa, bukan. Ayahmu berasal dari Aqaanix, mereka memiliki gen tubuh khusus yang dapat mengubah partikel udara menjadi air. Ayahmu tinggal di bagian selatan Aqaanix yang dijuluki Sang Ombak. Karena mereka terdiri dari gugusan pulau-pulau."
"Walaupun aku bermain berpura-pura memiliki kekuatan, kanapa aku tidak bias melakukannya" tanyaku.
"Karena kamu tidak mewarisi gen Ayahmu, dan justru Renny yang memilikinya. Ini yang menyebabkan Ayah dan Ibumu berpisah" aku hanya bisa terdiam. "Keluarga dari Ayahmu adalah orang kelas atas. Mereka tidak ingin ada kecacatan dalam sejarah keluarga mereka. Sedangkan keluarga ibumu hanya kaum kelas menengah biasa yang berasal dari Bumi. Sengaja mereka rahasiakan padamu agar kamu tidak sedih"
Ryan~...
Suara itu datang lagi. Aku tahu, itu suara Renny. Entah ini hanya Denis menepuk punggungku pelan. "Bagaimana dengan Renny?"
"Renny hanya mengirimiku surat untuk menjenguknya lewat surat-surat lama yang ia kirim. Dan ini pertama kalinya ia mengirim surat padaku. Mungkin surat lain ada padamu" ia menghela napas. "Kenapa mereka suka bermain petak umpet?"
"Terima kasih informasinya" ucapku berdiri dengan kepala menunduk. "Apa kamu bisa membantuku?"
"Apapun untuk sahabatku"
● ● ●
Aku kembali mengobrak-abrik kotak yang diberikan mama. Aku mengambil salah satu. Untuk Mama & Ryan yang amat Renny rindu Semakin hari semakin berbahaya, Renny dan papa semakin mendekati ujung tanduk. Tapi jangan khawatir Renny baik-baik saja.
Mama, Renny kangen banget sama kak Ryan. Walaupun isinya singkat, tolong mama simpan surat ini, biar kak Ryan ingat.
Di bawah ranjang Renny ada banyak kotak. Di salah satu kotak ada sebuah cincin perak yang tebal berdiameter 15 senti. Pencet tombol yang bergambar matahari terbit. Itu tempat kita terakhir kali kita bermain dan mengubur kapsul waktu.
Saudara kembar Ryan yang manis Moskow, Februari 2018
Aku membaca surat lainnya.
Untuk Mama & Ryan tercinta
Pada akhirnya Renny harus bersembunyi di Ushatria, yang dijuluki sang Fajar. Kata papa setelah perang antara Aqaanix dan Icriathis, kami akan berkunjung ke rumah mama.
Seandainya nenek tidak mempedulikan keegoisan, perang antara Aqaanix dan Icriathis akan cepat berakhir. Dengan memutar kembali memori yang bersembunyi dalam liontin kami.
Anak kembar mama yang manis sangat rindu rumah Yasuna, Ushatria
Setelah membaca surat-surat itu aku langsung memberitahu informasi kepada Evelien dan Denis. Evelien bilang kalau ia lupa memberitahu bahwa setelah Papa dan Mamaku berpisah terjadi peperangan antara Aqaanix dan Icriathis tanpa alasan yang jelas. Dan keluarga dari papa adalah incaran yang lezat bagi Icriathis.
Evelien mengusulkan untuk bertemu di rumahnya dan mencari kapsul waktu itu.
"Semakin cepat kita menemukannya, kita akan lebih aman dan terhindar dari serangan perang Aqaanix dan Icriathis" kata Evelien.
● ● ●
Keesokan paginya aku langsung mencari kotak yang dimaksud Renny dan buru-buru ke bawah.
"Jangan lari-lari di tangga, Ryan. Mau kemana buru-buru?" tanya mama.
"Mau...kerja kelompok. Ada tugas untuk presentasi, Ma" ucapku menutupi kegugupan. Mama menatapku sejenak.
"Jangan bohong, nak. Bilang aja, mama gak marah" pinta mama lembut.
"Ryan, mau cari Renny. Gak ada rahasia yang disembunyikan lagi!" tegasku. Mama mendekat dan memelukku.
"Hati-hati, nak. Setiap tindakan yang kamu buat, ada resikonya" ucap mama dengan suara yang gemetar. Aku tau pasti mama rindu dengan kondisi keluarga sepuluh tahun yang lalu. Mama mengelus kepalaku dan mencium dahiku. "Jangan pulang kelamaan!"
"Iya, Ma" aku mencium tangan mama.
Oleh : Nayna Zaliah Febriana Manurung 7D