Entah mengapa semua terasa berbeda semenjak aku mengenalnya. Tatapannya membuat aku penasaran. Dia yang telah merubah hidupku. Yang awalnya aku hanya seorang gadis pendiam, kini aku menjadi seorang gadis yang ceria dan penuh semangat. Dan, aku ceria karena aku bisa mengenalnya. Dan mungkin juga bisa mencari perhatian padanya lewat sikapku yang periang ini. Dia, Wira. Laki-laki yang telah membuat aku jatuh cinta itu tak pernah ingin mengenalku. Bahkan ketika aku mengajaknya mengobrol lewat chat Line, dia juga tak pernah membalasnya. Dan kini aku hanya dapat mengaguminya dari jauh.
Ketika aku melihatnya, aku ingin sekali mendekat dan menyapanya. Tapi aku tidak percaya diri. Aku merasa bahwa aku kurang cantik dari semua wanita yang mencoba mendekatinya. Sampai suatu ketika, aku bisa mengenalnya dan bisa dekat dengannya. Pertemuan itu ketika aku sedang berjalan mengelilingi kawasan rumahku. Aku melihat dia juga berjalan berlawanan arah padaku. Dia sempat melirikku sesaat, lalu pergi melewatiku begitu saja. Aku sedih sekaligus senang.sedih karena aku tak bisa menyapanya karena takut, dan senang karena aku baru pertama kali melihatnya dari jarak yang cukup dekat.
“Kak,” aku memanggilnya karena aku sudah tidak sabar lagi ingin dia mengetahui keberadaanku.
“Ya, ada apa?” jawabnya.
Aku mencoba rileks dan tenang meskipun aku gugup sekarang.
“Kakak tinggal di daerah ini?” tanyaku.
“Iya, memangnya kenapa?” dia balik tanya.
“Aku Rere kak. Aku adik kelas kakak. Aku juga tinggal di daerah sini,” aku memperkenalkan diriku. Aku berharap supaya dia membalas jabatan tanganku.
“Oh, iya. Kakak pernah liat kamu deh,” ucapnya. Diam-diam aku terkejut.
“Oh ya? Di mana kak?” tanyaku.
“Kalo nggak salah, kamu sekarang kelas 8F. Iya nggak sih?”
“Kakak tau dari mana?”
“Kakak tau pas kakak jalan mgelewatin kelas kamu. Kamu dihukum sama Bu Diva. Iya kan?”
“Iya! Aku juga sempet ngelirik kakak. Kita kan waktu itu sempet saling natap. Kakak senyum kan? Aku masih inget loh,”
“Iya. Kamu mau ke mana?”
“Aku mau ke warung. Kakak sendiri?”
“Kakak abis dari warung. Tapi kayaknya kembaliannya belum deh. Kita ke sana bareng yuk,”
“Yuk,”
Dia-diam aku senyum-senyum sendiri karena baru pertama kali aku mengobrol dengannya. Aku sangat bahagia. Akhirnya aku bisa dekat dengannya dan mengobrol dengannya. Aku harap aku bisa dekat dan akrab dengannya.
“Sudah sampai,” katanya.
“Pak! Beli terigu satu kilo,” kataku.
“Pak, kembaliannya belum tadi,” kata dia.
“Iya, Dik Wira. Tadi dipanggilin juga nggak nyaut-nyaut. Nih Dik terigunya,”
“Iya Bang. Tadi Wira nggak denger,”
“Ya udah nih kembaliannya,”
“Makasih Bang,” ucapku dan dia serempak. Setelah itu kami tertawa mendengar kekompakkan kami. Setelah itu kami pulang bersama juga.
“Kalo boleh tau, itu terigu untuk apa?” tanyanya.
“Oh, ini untuk ngasih kejutan temen sore ini. Temen aku ada yang ulang tahun,”
“Ooh.. gitu. Emang siapa yang ulang tahun?”
“Namanya Regina,”
“Kakak boleh ikut? Kakak juga kenal sama dia,”
“Boleh dong kak. Kakak ikut aku aja kalo kakak mau,”
“Oke, kapan?”
“Sekarang. Tapi aku mau pulang dulu ambil kado,”
“Kakak tunggu di depan gang ya,”
“Barang kakak gimana?”
“Ya itu tinggal dititipin ke situ aja,” katanya sambil menunjuk mushola di sampingnya.
“Ya udah deh. Aku pulang dulu ya kak,”
Iya,”
Aku berlari sambil tersenyum lebar. Akhirnya apa yang kuimpikan tercapai. Aku pulang dengan perasaan senang. Sangat senang. Sesampainya di rumah, aku langsung mengambil kado dan memoleskan sedikit bedak bayi dan mengoleskan lipbalm rasa strawberry favoritku. Aku langsung berlari pergi ke luar rumah.
Sesampainya di depan gang, aku melihat dia menungguku sambil memainkan handphonenya. Dia sudah tidak membawa barangnya. Aku langsuung menghampirinya.
“Lama ya kak?” dia malah terdiam sambil memandangiku.
“Kak?”
“Eh.. Iya. Nggak lama kok. Yuk,”
“Yuk,” aku heran melihat sikapnya tadi. Sedangkan aku yang ditatap seperti tadi berusaha mengontrol detak jantungku.
“Kita kompleks rumahnya aja kak,”
“Ya udah. Temen-temen kamu yang lain juga udah di sana kali,”
Sesampainya di sana, aku melihat teman-temanku sedang sibuk mempersiapkan kejutan.
“Hai,”
“Lama banget sih lo!”
“Iya lumutan tau nggak kita,”
“Pantesan aja lama, dandan dulu sih,”
“Paling juga keasikan ngobrol sama kak Wira,” dia terkejut mendengar ocehan teman-temanku. Dia menoleh padaku.
“Kalian semua! Sok tau banget deh. Kak Wira ke sini tuh karena dia juga mau ngebantuin kita bikin kejutan. Katanya kak Wira kenal sama Regina,”
“Oooo…” jawab mereka serempak.
“Ya udah ah, cepet bikin kejutannya. Sebelum Regina dateng,” Lalu aku membuka plastik terigu dan mencampurkannya pada bubuk pewarna. Setelah itu, salah satu temanku menelepon Regina. Setelah 15 menit mengunggu, kami melihat Regina sedang berjalan ke arah sini. Kami langsung bersembunyi di balik 3 pohon besar yang berjejer rapat.
“Ck, mana sih mereka?!” Kata Regina. Kami langsung keluar dari persembunyian dan menuangkan terigu yang sudah dicampur bubuk pewarna tadi ke arahnya.
“Surpriseeee!!” ucap kami bersamaan. Tapi aku malah terpeleset dan hampir jatuh. Kak Wira memegang pinggangku. Aku tidak percaya semua ini akan terjadi. Setelah itu aku bangun dan tersenyum kikuk padanya.
“M-makasih,” kataku lirih
Kak Wira hanya mengangguk lalu kami melanjutkan acara kejutan tadi.
Setelah selesai, aku dan kak Wira pamit pulang kepada mereka. Di perjalanan, kami hanya saling diam. Setelah kejadian tadi, aku tak berani lagi berbicara padanya. Semenjak kak Wira memeluk pinggangku, dadaku berdegup kencang sampai sekarang. Sampai aku tidak sadar bahwa kami sudah berada di depan gang.
Seminggu telah berlalu. Aku dan kak Wira tidak pernah mengobrol lagi. Aku hanya bisa kembali mengaguminya dari jauh. Hari ini pengumuman kelulusan. Aku melihat dia dari depan kelasku. Kelasku dan dia berseberangan dan hanya dibatasi olah lapangan basket.
Aku tersenyum melihat kebahagiaan terpancar di wajahnya setelah melihat papan pengumuman itu. Aku ingin melihat dirinya untuk terakhir kali di sekolah ini. Terlihat dengan jelas bagaimana dia tersenyum lebar penuh kebahagiaan. Dan kini, aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Lourentia A. Osella S. IXB/18 /2019